Posts Tagged 'hakim'

PENGADUAN PERIHAL BIAYA PEMERIKSAAN SETEMPAT

Sebagaimana pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat, bahwa banyaknya laporan dari tidak tepatnya pelaksanaan pemeriksaan setempat di pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan setempat menjadi sesuatu yang penting dalam pemeriksaan perkara perdata yang terkait dengan barang-barang tidak bergerak sebagai objek sengketa.

Hal yang terkait dengan pemeriksaan setempat mempunyai bidang aspek yang luas, sehingga tulisan ini hanya difokuskan kepada perihal biaya pemeriksaan setempat yang dapat dijadikan objek pengaduan. Bilamana dikaitkan dengan biaya dalam pelaksanaan pemeriksaan setempat, maka penulisan ini tidak terlepas dari dasar hukumnya, yakni “tidak dibenarkan adanya pembebanan biaya yang sifatnya honor/uang makan bagi Majelis/Panitera Pengganti, kecuali untuk pengadaan biaya transportasi dari Kantor Pengadilan ke tempat persidangan pulang pergi.” (Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1994 tentang Biaya Administrasi.

Lanjutkan membaca ‘PENGADUAN PERIHAL BIAYA PEMERIKSAAN SETEMPAT’

PERAN HAKIM DALAM PELESTARIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

Zaenal Arifin dan Farid Hadi dalam bukunya “1001 Kesalahan Berbahasa” telah menyinggung berkenaan pemakai bahasa Indonesia tidak dibenarkan menggunakan lafal bahasa daerah atau lafal bahasa asing dalam berbahasa Indonesia. Penulis buku juga mengungkapkan bahwa tidak terpujilah orang yang menggunakan bahasa Indonesia yang kosakatanya bercampur dengan kata asing hanya karena ingin tampak “gagah” atau karena ingin memperlihatkan tingkat keintelektualnya.

Penulis buku juga memaparkan hasil salah satu putusan Kongres V Bahasa Indonesia 1988 yang menyatakan bahwa dalam konteks budaya yang memberi penekanan pada prinsip anutan, kongres mengimbau agar para pejabat lebih berhati-hati dalam memakai bahasa Indonesia sehingga masyarakat mendapat masukan bahasa yang baik dan benar.

Penulis buku hanya mengungkapkan yang patut menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar hanyalah antara lain Presiden dan Wakil Presiden, Menko dan Menteri, Pemimpin Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, Pemimpin ABRI, guru dan dosen, wartawan dan penerbit, sekretaris dan pengonsep pidato, pemuka agama. Penulis buku tidak menyinggung mengenai peranan hakim dan panitera pengganti dalam menjaga kelestarian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Blogger menilai peranan hakim dan panitera pengganti dalam menjaga kelestarian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah memegang peran penting dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Oleh karena  berita acara persidangan dan putusan sebagai produk karya dan cipta dari hakim dan panitera pengganti adalah akta otentik yang bersinggungan dengan dunia hukum. Di samping itu, putusan adalah menghidupkan pasal-pasal yang mati di peraturan perundang-undangan.

Selain itu, dalam laman Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia jumlah total putusan yang terupload sudah berjumlah 2.335.025 putusan. Putusan tersebut berasal dari kurang lebih 800 satuan kerja/pengadilan dari Sabang sampai Marauke. Hal ini membuktikan produk pengadilan dari hasil cipta karya hakim dan panitera pengganti bukanlah hal yang dianggap sebelah mata. Dari para hakim dan panitera pengganti yang ada diseluruh Indonesia sebagai figur yang memegang peranan penting dalam pelestarian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 

 

 

Referensi:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, https://putusan.mahkamahagung.go.id/, diakses tanggal 22 Agustus 2017.

  1. Zaenal Arifin dan Farid Hadi, 1001 Kesalahan Berbahasa, Jakarta, Akademika Pressindo, 2009.

 

​KRITERIA HAKIM

Penilaian masyarkat tentang pelayanan hukum tidak terlepas dari sosok hakim yang berada di pengadilan setempat. Pelayanan hukum yang baik tidak semata-mata pelayanan non-yudisial sebagai supporting unit pelayanan hukum,  tetapi pelayanan yudisial (penanganan perkara) juga menjadi hal yang tidak dapat terlepas tersendiri. Hakim dapat berperan dalam dua bidang itu sekaligus, yudisial dan non yudisial. 
Profesi hakim sebagai profesi yang unik dalam pelayanan hukum kepada masyarakat. Selain dapat menangani pekerjaan yudisial (penanganan perkara) atau biasa dikenal dengan kepaniteraan, hakim dapat pula menangani pekerjaan non yudisial atau biasa dikenal dengan kesekretariatan. Profesi yang unik, karena hakim di Indonesia ”dituntut” sebagai seorang manusia yang serba tahu dan pandai dalam menangani permasalahan yang dihadapi dalam dunia pelayanan hukum.

Oleh karena itu, ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu terhadap baik dan buruknya, atau salah dan benarnya, terhadap sesosok hakim di Indonesia adalah tidak terlepas dari uniknya pekerjaan pelayanan hukum yang dilakukan oleh hakim. Hakim di Indonesia dapat bekerja di hadapan persidangan, yakni di belakang meja hijaunya, atau juga hakim dapat bekerja di belakang meja kerjanya untuk melakukan pengawasan di bidang kepaniteraan dan kesekretarian di suatu pengadilan.

Penulis mengamati dalam perjalanan pekerjaan di pelayanan hukum, bahwa sosok hakim haruslah memiliki kriteria di antaranya adalah:

Pertama, Hakim haruslah sebagai figur manusia yang dapat menjadi pendengar yang baik.

Pendengar yang baik menjadi hal yang wajib dalam penanganan perkara. Hakim wajib untuk mendengar kedua belah pihak tanpa berat sebelah. Hakim mendengar secara seksama dalil-dalil yang diajukan para pihak. Pendengar yang baik wajib memiliki ilmu psikologi tentang membaca gerak tubuh lawan bicara. Pendengar yang baik memerlukan kesabaran yang lapang untuk menampung keluh kesah, curhatan emosi, dan sebagainya. Pendengar yang baik memerlukan ilmu komunikasi seperti layaknya seorang customer service.

Kedua, Hakim haruslah sebagai manusia yang mampu berbicara.

Kemampuan berbicara dalam tugas-tugas  kedinasan tidak hanya semata suara, tetapi dengan sikap diamnya atau gerakan tubuh juga simbol-simbol yang dapat berbicara. Kemampuan berbicara dalam meja persidangan berbeda dengan kemampuan berbicara yang dituangkan dalam sebuah dokumen tertulis, seperti putusan perkara dan surat-surat kedinasan.

Ketiga, hakim di Indonesia  wajib sebagai pembaca fanatik.

Pembaca fanatik tidak semata-mata membaca buku-buku akademis semata, tetapi hakim juga dapat sebagai pembaca yang tidak terlihat. Pembaca yang dapat membaca hakikat kehidupan. Kemampuan baca bagi seorang hakim dapat meliputi membaca tanda-tanda sosial di sekitar lingkungan kerjanya. Selain itu, hakim harus mampu membaca dengan hati nuraninya yang dapat membimbing hakim dalam penanganan perkara.

Keempat, hakim adalah penulis.

Putusan adalah mahkotanya hakim. Istilah demikian adalah benar, sedangkan untuk membuat putusan terlebih dahulu hakim wajib mampu menuangkan pikirannya ke susunan kata-kata sebagai simbol alat komunikasi. 

Penanganan perkara adalah sebuah keunikan tersendiri di antara perkara-perkara satu sama lainnya. Satu perkara memiliki perbedaan tersendiri dengan perkara lainnya. Sehingga hal ini menyebabkan hakim menulis pertimbangannya secara unik antara satu perkara dengan perkara lainnya. Sebagai hakim kelahiran setelah tahun 1980, yang mana generasi kelahiran tahun 1980 adalah generasi X yang tidak terlepas dari gadget elektronik, maka hakim generasi X haruslah sebagai penulis yang mampu mengoperasikan komputer secara mandiri.

Integritas hakim dapat terlihat dengan rekam jejak terhadap putusan-putusan, artikel, blog, dan jurnal ilmiah yang telah ditulis oleh hakim. Kesatuan yang utuh antara apa yang ada dalam alam pikiran yang telah dituangkan dalam sebuah tulisan dengan keadaan perilaku hakim dapat menunjukkan mutu dan sifat dari seorang hakim. Alam pikiran hakim hanya dapat diselami dengan tulisan-tulisan yang telah dibuatnya, sehingga bilamana ada kesatuan antara tulisan dengan perilakunya dapat menunjukkan kejujuran dari seorang hakim.

HAKIM ADIL VS. HAKIM BIJAKSANA

Keunikan mencari keadilan bagi pencari keadilan di Indonesia dihadapkan pada permasalahan kriteria hakim yang menyidangkan perkaranya;

Sebagian besar profesi hakim mendeklarasikan dirinya sebagai profesi yang bukan corong undang-undang, dan sebagian besar lainnya menyatakan dirinya bukan penganut asas preseden;

Di lain pihak, bilamana dalam suatu perkara hakim mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan perkara, dirinya secara tidak sadar memakai undang-undang ataupun yurisprudensi sebagai dasar hukum untuk memutus perkara yang diadilinya; Lanjutkan membaca ‘HAKIM ADIL VS. HAKIM BIJAKSANA’

INTERVENSI POLITIK DALAM RANAH HUKUM

Peradaban manusia terbentuk dari budaya dan agama, hal ini terletak dari tidak terpisahnya peradaban bangsa-bangsa besar dari budaya dan agama yang dianutnya. Sedangkan kejayaan suatu bangsa dan negara adalah terletak pada keadilan sebagai pengawal peradaban.

Keadilan terbentuk dari memuliakan peradilan yang dimulai dari hakim. Adakalanya pemuliaan peradilan tidak terwujud karena tidak pahamnya hakim dalam menilai dirinya.

Kurangnya pemahaman hakim dalam menilai posisi kekuasaan kehakiman yang terkait dengan independensinya peradilan menyebabkan kelemahan peradilan yang akhirnya melemahkan dan meruntuhkan keadilan tersebut dan berujung kepada ketidakjayaannya suatu bangsa dan negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan tidak dapat disamakan dengan pemisahan kekuasaan, seperti halnya hukum dan politik yang mana diantaranya tidak dapat bisa dipisahkan.

Pembagian kekuasaan memungkinkan adanya intervensi politik kepada hukum, terutama intervensi politik terhadap independensi kehakimanan/peradilan.

Sebagai kelaziman peradaban demokrasi, bahwa hukum dan politik tidak bisa dipisahkan, tetapi intervensi politik kepada hukum juga tidak boleh. Tidak boleh dapat diartikan juga dimungkinkan adanya intervensi.

Politik dapat mengintervensi hukum (kehakiman/peradilan) dengan melalui produk legislatif, yaitu undang-undang. Dengan undang-undang para legislator dan eksikutor dapat mengintervensi hukum (peradilan/hakim).

Sehingga letak independensinya hakim hanyalah terletak pada hakim melaksanakan perundang-undang. Bekerjanya hakim dalam melaksanakan dan mewujudkan perundangan-undangan adalah letak independensinya hakim yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan legislatif dan eksekutor. Inilah letak hakikat kemandirian hakim.

Bekerjanya hakim dalam melaksanakan dan mewujudkan kata-kata mati dalam perundangan-undangan dalam suatu putusan tanpa adanya campur tangan kekuasaan lainnya adalah letaknya kemandirian hakim.

PENGEMIS dan HAKIM

Sejak tahun 1918, dengan diberlakukannya Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732, telah mulai berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana yang sekarang ini dipakai di Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Sejak tahun tersebut telah pula diatur tentang delik mengemis di muka umum, yaitu tepatnya pada Pasal 504 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.”

Kemudian, apa hubungannya dengan pengemis dan hakim. Penulis sengaja menulis dari sudut pandang tempat terjadinya delik.

Lanjutkan membaca ‘PENGEMIS dan HAKIM’

KRITERIA HAKIM

Pengalaman perjalanan hidup membuahkan intisari pegangan mengarungi gejolak badai dunia fana. Selama menekuni profesi penegakan hukum, penulis mendapatkan ilmu dan hikmah tentang kriteria hakim yang ideal, di antaranya adalah:

Lanjutkan membaca ‘KRITERIA HAKIM’

AKIBAT HUKUM DARI HAK INGKAR DAN PENGUNDURAN DIRI HAKIM TERKAIT KEKURANGAN HAKIM

Terkini dari berita kompas.com (akses tanggal 26 Juli 2016):

“Pengadilan di Indonesia saat ini kekurangan 1.400 hakim. Kekurangan tersebut dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kinerja hakim dan penyelesaian perkara di setiap pengadilan. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Heri Swantoro mengatakan, pada setiap pengadilan negeri, seharusnya terdapat dua majelis atau delapan hakim. Namun, dalam kenyataannya, banyak pengadilan memiliki jumlah hakim yang kurang dari angka tersebut. “Berdasar data kami, sebanyak 35 pengadilan negeri bahkan hanya memiliki empat hakim,” ujarnya saat ditemui di sela-sela kunjungannya ke Pengadilan Negeri (PN) Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (14/7/2016).”

Terhubung kepada berita tersebut, penulis teringat akan norma hukum hak ingkar dan hak pengunduran diri, sebagaimana yang dikutip di bawah ini:

  1. Berpedoman pada Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Pada penjelasan: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan langsung atau tidak langsung’ adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.”
  2. Berpedoman pada Buku Pedoman Pelaksaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Cetakan ke-5, Mahkamah Agung RI, 2004, halaman114: Pengunduran diri hakim, Hakim tanpa diminta oleh pihak yang berkepentingan wajib mengundurkan diri dari suatu perkara dalam hal ia secara pribadi mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung dalam perkara itu.

Dari hal demikian, norma hukum “pernah menangani perkara tersebut” tidaklah dijelaskan lebih lanjut, apakah menangani perkara tersebut telah mencapai putusan akhir yang bersifat positif atau negatif.

Sebagai contoh:

  1. Apabila perkara perdata di putus dengan putusan akhir bersifat negatif, yakni “tidak dapat diterima”, kemudian beberapa waktu ke depan pihak penggugat mengajukan lagi gugatan baru. Apakah hal demikian termasuk ke dalam norma hukum “pernah menangani perkara tersebut”.
  2. Apabila hal demikian dianggap sebagai pernah menangani perkara dan dianggap mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung, maka hal tersebut akan berdampak langsung kepada komposisi hakim dalam pengadilan negeri.
  3. Apabila jumlah hakim di pengadilan negeri mengalami kekurangan 1.400 hakim, maka keadaan nomor 2 akan berdampak kepada pelayanan publik untuk pencari keadilan.
  4. Keadaan nomor 3 akan berdampak pada persidangan perkara perdata, karena bilamana majelis hakim yang memutus dengan putusan akhir bersifat negatif (yaitu putusan tidak dapat diterima), maka pemeriksaan perkara perdata tersebut tidak dapat diperiksa lagi dengan majelis hakim yang sama. Bilamana hal demikian termasuk ke dalam norma hukum “mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung, dalam hal pernah menangani perkara tersebut”.
  5. Keadaan nomor 4 akan berlanjut kepada terhentinya pemeriksaan perkara perdata untuk kurun waktu periode empat bulanan. Hal ini mengingat Tim Promosi dan Mutasi dalam kurun waktu 4 bulan.

Sehingga dengan kurangnya tenaga hakim 1.400 hakim yang berdampak pada susunan majelis hakim terdiri dari satu majelis hakim, karena jumlah hakim 4 orang, menjadikan pelayanan publik untuk pemeriksaan perkara perdata dapat terhenti selama kurun waktu minimal 4 bulan.

Semoga perkiraan penulis di atas tidak menjadi kenyataan, karena pemberian keadailan tidak boleh terhenti dengan alasan jumlah hakim kurang.

#HakIngkar   #PengunduranDiri   #Hakim

APAKAH PERKARA PRAPERADILAN DAPAT DIMINTAKAN PENINJAUAN KEMBALI DAN KASASI?

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 152 PK/PID/2010 tanggal 7 Oktober 2010 antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia c.q. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta c.q. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melawan Anggodo Widjojo dapat dijadikan pembelajaran bagi para penegak hukum, oleh karena dari putusan tersebut dapat diambil kaidah hukum yang perlu dicermati bilamana akan diadakan upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Hal ini dikarenakan tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan upaya hukum biasa melalui kasasi atau upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali.

Lanjutkan membaca ‘APAKAH PERKARA PRAPERADILAN DAPAT DIMINTAKAN PENINJAUAN KEMBALI DAN KASASI?’

KELALAIAN TERDAKWA BUKAN SEBAB PENGHUKUMAN DALAM PASAL 406 AYAT (1) KUHP

Suatu perbuatan sengaja harus ada motif, yaitu kenapa seseorang melakukan perbuatan itu, harus terungkap dalam pembuktian di fakta dan keadaan hukum pertimbangan putusan majelis hakim terhadap tindak pidana penghancuran atau perusakan barang.

Lanjutkan membaca ‘KELALAIAN TERDAKWA BUKAN SEBAB PENGHUKUMAN DALAM PASAL 406 AYAT (1) KUHP’


Jumlah Pengunjung

  • 349.291 pengunjung

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Bergabung dengan 12 pelanggan lain

Top Rating